بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Jumat, 27 Juli 2012

Rasa Malu Kepada Allah


Ramadan adalah bulan yang tepat sebagai tempat hamba Allah berintrospeksi. Muhasabah kualitas hubungan dirinya secara vertikal kepada Allah dan horisontal kepada sesama manusia.

Puasa Ramadan mendidik setiap hamba Allah agar memiliki rasa malu di hadapan Allah sebagai manifestasi dari karakter muraqabatullah (pengawasan Allah yang melekat) yang menyebabkan dia sanggup meninggalkan hal-hal yang dibolehkan karena untuk tujuan menghindari hal-hal yang diharamkan oleh-Nya.

Tanpa rasa malu terhadap Allah yang cukup kuat, seseorang akan melakukan apa pun yang haram karena sudah tidak peduli lagi dengan kriteria halal-haram yang digariskan oleh Allah.

Agaknya krisis demi krisis yang dialami bangsa kita saat ini berpangkal dari hilangnya rasa malu. Rasulullah jauh hari menyatakan, “Jika kamu tak lagi punya rasa malu, kerjakanlah apa yang kamu suka!”



Artinya segala bentuk kemunkaran yang kita saksikan mulai dari budaya permisif, seks bebas, tawuran, perselingkuhan, tarian erotis, pesta miras, konsumsi narkoba, korupsi, illegal loging, jual beli putusan hakim, kampanye kondomisasi remaja, suap dan success fee untuk memenangkan tender/proyek, hingga uang pajak yang ditilap, akibat rasa malu yang terkikis dan menghilang dari diri semua lapisan bangsa ini.

Apapun bisa dilakukan. Hukum bisa dibeli, moral dan norma agama bisa dilanggar, amanah dari rakyat bisa dikhianati, gaji dan tunjangan yang besar tak lagi dirasa cukup, kehormatan dan harga diri dijual. Itu semua karena bangsa kita mengalami defisit rasa malu. Tidak ada malu lagi kepada norma agama dan hukum, tidak malu terhadap rakyat, terlebih lagi lenyapnya rasa malu di hadapan Allah ta’ala .



Wajar kalau Rasulullah menekankan arti rasa malu yang benar untuk membangun karakter diri dan bangsa. Dari sahabat Abdullah ibnu Mas’ud, Rasulullah saw bersabda,“Malulah kalian kepada Allah dengan rasa malu sebenarnya!”, lalu para sahabat berkata,“Wahai Rasul sungguh kami masih punya rasa malu Alhamdulillah”. Nabi bersabda, “Bukan itu yang aku maksudkan, namun rasa malu kepada Allah yang benar adalah dengan cara engkau pelihara kepalamu dan semua yang diserap, engkau pelihara perutmu dan semua yang masuk, ingatlah mati dan keadaanmu yang akan jadi tulang belulang, lalu tinggalkan hiasan dunia untuk menjamin kesenangan akhirat! Jika telah melakukan itu semua, baru orang tersebut telah merasa malu yang benar terhadap Allah”. (HR. Ahmad, Tirmidzi dan al-Hakim)

Rasa malu bukan sekedar risih saat aurat kita dilihat oleh orang lain. Rasa malu yang benar menurut nabi, harus direhabilitasi pangkal persoalannya.

Penyebab hilangnya rasa malu karena kita tidak sanggup memelihara penglihatan, penciuman, pendengaran dan pengucapan kita. Mata, hidung, telinga dan lisan kita umbar untuk penuhi syahwat picisan.



Begitu pula rasa malu lenyap, hingga timbul beragam kemunkaran, karena kita tak mampu kendalikan perut yang tak pernah kenyang dan puas. Perut yang dikendalikan syahwat dan tak ada rasa malu, bukan hanya memakan nasi dan lauk pauk secukupnya, tapi bisa menelan batu, pasir, semen, besi dalam jumlah besar hingga banyak infrastruktur dan fasilitas publik yang cepat hancur karena kualitas rendah. Pepatah bilang, satu 'bajing' cukup makan satu buah kelapa, tapi satu (maaf) 'bajingan' tak cukup makan sepuluh ribu pohon kelapa.

Itu semua akibat perut manusia yang tak pernah "dipuasakan" agar disapih dari cinta dunia (hubbu dunya) atau mungkin tiap tahun puasa dan rayakan hari fitri tapi nilai shiyam dan fitrah tak pernah tertancap dalam hatinya akibat budaya puasa-puasa an.

Akibat tidak ingat kematian dan resiko siksa (di kubur maupun akhirat), rasa malu akan sirna. Nabi telah mewanti-wanti kita agar ingat mati, “Perbanyaklah oleh kalian mengingat sang pemutus segala kelezatan dunia, yaitu kematian!”. Orang bijak (al-kayyis), menurut nabi, adalah orang yang berhati-hati dan beramal untuk persiapan hidup setelah mati (man dana nafsahu wa 'amila lima ba'da almawt).

Sayangnya, banyak manusia yang terpedaya, rela mengorbankan kesenangan akhirat yang abadi dan sempurna, dan menukarnya dengan kesenangan hidup duniawi yang fana dan palsu. Padahal, kata nabi, harta hakiki seorang manusia cuma pakaian yang akan lusuh, makanan yang akan hancur, sedekah yang akan ia petik pahalanya. Selebihnya musnah atau jadi hak milik ahli warisnya kelak (HR. Muslim)

Semoga Allah kuatkan tekad kita untuk puasa sungguhan agar takwa mewujud dalam keseharian kita sehingga keberkahan hidup pun akan muncul dari langit dan bumi. Sebagaimana janji Allah dalam surah Al-A'raf: 96. Allahumma Amin


Fahmi SaLim MA